Jumat, 22 Februari 2008

Bakteri Jadi Pestisida Aman

Ini politik devide et impera yang dilakukan Ir Euis Suryaningsih MS. Periset Balai Penelitian Tanaman Sayuran itu mengadu domba makhluk mini seperti Bacillus subtilis dengan bakteri Colletotrichum gloeosporoides penyebab penyakit antraknosa pada cabai. Mereka bertarung dan Bacillus subtilis selalu menang.

Apa rahasia kemenangan itu? Anggota famili Bacillaceae itu mempunyai senyawa toksin bernama bacillin. Toksin itu tokcer menghambat perkembangan bakteri patogen. Menurut Charles L. Baugh, periset Merck Institute for Theurapeutic Research, Pennsylvania, Amerika Serikat, bacillin juga mampu mendongkrak resistensi tanaman. Dampaknya sistem kekebalan tanaman pun meningkat.

Euis, alumnus Biologi Universitas Padjadjaran Bandung, meriset bakteri sebagai pestisida selama hampir 2 tahun sejak awal 2006. Mula-mula Euis mengambil isolat bakteri Bacillus subtilis dari daun cabai muda. 'Sebaiknya bakteri diambil dari tanaman yang akan diberi perlakuan,' katanya. Tujuannya agar tidak terjadi resistensi. Sistem metabolisme daun muda masih sangat aktif, jadi lebih banyak bakteri yang ditemukan. 'Kemungkinan dia juga memperbanyak diri di sana,' katanya.

Ambil spora

Setelah memperoleh isolat bakteri, Euis mengupayakan bakteri berkembang biak. Caranya dengan menciptakan suasana lingkungan kering. Kelembapan ruangan diatur sampai titik terendah sehingga bakteri menghasilkan spora. Bila lingkungan tidak menguntungkan, beberapa jenis bakteri termasuk bacillus akan mempertahan diri dengan membentuk spora. 'Spora itulah yang saya panen,' kata Euis.

Spora itu awet selama 2 tahun. Namun, bila disimpan di lemari pendingin, daya tahan spora lebih lama, mencapai puluhan tahun. Dalam bentuk spora, bakteri akan dorman. Spora itu selanjutnya digunakan oleh Euis untuk memperbanyak jumlah bakteri.

Untuk merangsang bakteri memperbanyak diri lagi, cukup meningkatkan kelembapan udara ruangan tempat isolasi bakteri, sampai lebih dari 90%. Saat itu, kondisi lingkungan sesuai dengan kebutuhan bakteri. Masa dormansi pun usai. Spora tidak terbentuk lagi dan bakteri pun bisa kembali memperbanyak diri. Nah, saat memperbanyak diri itulah bakteri mengeluarkan senyawa toksin. Senyawa itu dikeluarkan oleh hampir seluruh bagian tubuhnya dan akan digunakan untuk melawan bakteri patogen pada tanaman.

Caranya dengan mengambil isolasi bakteri yang sudah dibuat serbuk. Selanjutnya dilarutkan dalam air, dengan dosis 0,1%. Larutan itu disemprotkan pada tanaman seminggu sekali. Pestisida Bacillus subtilis bekerja secara sistemik. Ia menghambat pertumbuhan patogen dengan masuk melalui sistem metabolisme tanaman lalu pelan-pelan mencegah patogen berkembang biak. 'Cara kerjanya mirip antibiotik, dosisnya kecil, tapi dilakukan terus-menerus,' kata perempuan 59 tahun itu.

Dalam metabolisme tanaman, biopestisida itu menghambat perkembangbiakan bakteri atau cendawan patogen. Akibatnya, patogen tidak bisa memperbanyak diri sehingga penyakit yang ditimbulkan pun bisa dihambat. Temuan biopestisida itu jelas kabar menggembirakan bagi para pekebun sayuran. Maklum, selama ini pekebun mengandalkan pestisida kimiawi yang mengancam kesehatan konsumen dan memicu resurjensi hama.

Pekebun bawang merah, umpamanya, kerap waswas akibat serangan layu fusarium. Penyakit yang disebabkan oleh Fusarium oxysporum itu terbukti dapat diatasi dengan merendam benih bawang merah dalam 0,1% larutan Bacillus subtilis selama 30 menit. Hasilnya bawang merah bebas serangan fusarium. Untuk perawatan berikutnya, cukup semprotkan pestisida alami itu dengan dosis sama, seminggu sekali.

Produksi tinggi

Hasil penelitian Euis Suryaningsih membuktikan, 'Beberapa penyakit akibat cendawan patogen bisa diatasi,' katanya. Itu juga dibuktikan pada tanaman sayuran lain seperti bawang merah, cabai, pecai, dan seledri. Hasil penggunaan pestisida Bacillus subtilis sangat terlihat mencolok. Yang menggembirakan, penggunaan Bacillus subtilis ternyata meningkatkan produksi. Dalam uji coba penanaman bawang merah di Rancaekek, Bandung, Euis menuai 300 kg umbi lapis dari lahan 1.000 m2.

Itu berarti 3 kali lipat lebih banyak dibandingkan tanaman yang tidak disemprot bakteri. Menurut Clarence L Baugh, makhluk berukuran 4 mikron itu mengandung fitohormon seperti auksin, sitokinin, etilen, giberelin, dan asam absisat yang mampu merangsang pertumbuhan tanaman. Selain itu, ia juga memasok nutrisi esensial seperti nitrogen, fosfor, kalsium, dan magnesium yang dibutuhkan oleh tumbuhan. Bahkan bakteri mampu melarutkan mangan pada MnO2 menjadi Mn+2. Mangan dalam bentuk kation itu sudah siap diserap oleh tanaman dan merangsang pertumbuhan tanaman.

Peran ganda pestisida sekaligus pupuk itu bukan hanya monopoli bakteri Bacillus subtilis. Cendawan Trichoderma lactae mampu menghambat pertumbuhan patogen dalam tanah seperti Pseudomonas solanacearum penyebab penyakit layu pada kentang dan Rhizoctonia solani penyebab busuk akar pada kentang. Jika Bacillus subtilis tersebar di mana-mana, trichoderma hanya ditemukan dalam tanah. Ia juga mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman dengan memaksimalkan kerja mikroba dalam rhizosfer tanah-bagian di sekitar akar tanaman.

Menurut Dr Tualar Simarmata, ahli mikrobiologi tanah Universitas Padjadjaran, penggunaan bakteri dan cendawan sebagai biopestisida harus dilakukan secara hati-hati. 'Salah-salah bisa jadi senjata makan tuan,' kata Tualar. Maksudnya, niat hati ingin menjadikan bakteri dan cendawan menjadi senjata alami, tapi karena tidak terkontrol malah menyebabkan penyakit. Menurut Tualar pada prinsipnya setiap mikroba dapat menjadi patogen. 'Tidak ada yang menjamin bakteri atau cendawan itu selamanya baik,' kata doktor alumnus Universitas Liebig, Jerman, itu.

Penggunaan agen hayati juga tidak bisa disamakan dengan pestisida kimia. Pada pestisida kimia konsentrasi sudah teruji. Sedangkan penggunaan agen hayati masih mengandalkan hukum keseimbangan alam. Hasilnya pun bervariasi. 'Kondisi lingkungan tidak ada yang sama, maka efektivitasnya pun tidak akan pernah sama,' ujar Tualar. Itulah ciri khas penggunaan agen hayati sebagai musuh alami patogen.

Selain itu, dalam penggunaannya, agen hayati harus dipastikan hidup saat inokulasi dan mampu memperbanyak diri ketika diaplikasikan pada tanaman. 'Kalau tidak bisa hidup kan artinya sia-sia saja. Jangankan untuk mengendalikan penyakit, hidup saja susah,' katanya. (source : Lani Marliani/Peliput: Argohartono Arie Raharjo untuk Trubus-Online.com)

Tidak ada komentar: